Posted by: Deka | November 10, 2008

November Rain

Besok tanggal 11 bulan 11…

Sudah 10 hari berlalu di bulan november ini tanpa ada 1 posting pun yang aku tinggalkan di blog ini.

Sebenarnya tidak banyak yang aku kerjakan selama 10 hari itu, apalagi semenjak pengurusan SKCK yang pada akhirnya menyisakan rasa kesal, sehingga tidak ada lagi ruang di blog ini yang pantas untuk membahas masalah itu lagi, feeling tired about…

Bulan ini, hampir setiap hari turun hujan, kala senja yang biasanya menjadi moment favoritku untuk menghilangkan penat–sambil menikmati segelas coklat hangat di serambi rumah–kini menjadi agak jarang aku lakukan.

Sejak kuliah, saat masa transisi itu terjadi, hal yang paling menyenangkan untuk dilakukan bagiku adalah menikmati senja, tepatnya pada pukul 17 sampai 18 sore. Saat matahari sudah mulai lelah memancarkan sinarnya. Saat nyanyian sore mengalun bersama udara menyambut malam, saat itu pula pikiranku melayang bersamanya. Duduk bersama secangkir coklat hangat di genggaman tangan, mataku memandang ke arah langit sambil bercerita di dalam hati. Awan-awan itu pun menjadi teman berceritaku, seolah-olah mereka mengerti semua isi hatiku.

Aku bercerita tentang semua hal (di dalam hati).

Aku pun bertanya tentang semua hal.

ARTI HIDUP adalah hal yang paling sering aku pertanyakan kepada awan-awan itu:

“Mengapa aku terlahir seperti aku?”

“Mengapa aku tidak terlahir seperti dia?”

Jika jawabannya karena TAKDIR, lantas:

“Mengapa takdirku seperti itu?”

“Mengapa takdirku tidak seperti dia?”

Semua pertanyaan klise itu selalu aku ajukan di setiap moment-moment itu, dan setiap hari aku selalu berdebat di dalam hati. Flight of Ideas, walau tidak sampai terjadi Logore. Tidak pernah ada jawaban yang memuaskan, bahkan sampai saat ini. Mungkin aku tidak memerlukan jawaban, atau mungkin jawaban itu akan datang jika kelak “aku” sudah menjadi seperti “dia, sehingga tidak ada lagi yang perlu dipertanyakan.

November Rain.

Setidaknya bulan ini–dengan hujannya–telah membuatku jarang menikmati moment senja itu lagi. Seolah-olah mencegahku untuk menjadi gila. Ya, terima kasih november, kau telah mencegah mereka berpikir bahwa aku gila. Tapi tidakkah kau tahu, bahwa kau pun telah membunuh moment-moment paling indah saat aku mengucapkan syukur alhamdulillah. Ya, tidak sampai semenit sejak pertanyaan itu tidak terjawab, aku pun selalu menyelipkan rasa syukur di sela-sela cahaya sore yang mulai redup itu. Seiring dengan hilangnya cahaya, seiring itu pula “pertanyaan gila” ku menghilang.

Aku pun bersyukur.

Dengan tersenyum:

“Terima kasih Ya Allah Engkau masih fungsikan seluruh organ tubuhku…”

“Terima kasih Engkau masih menghidupkan kedua orangtua ku…”

“Terima kasih, aku masih punya keluarga dan rumah yang hangat…”

Dengan menyeruput sisa coklat hangatku yang terakhir, aku pun berpikir:

“Sering-seringlah untuk melihat ke bawah, jangan melihat ke atas, dengan begitu kau akan mensyukuri apa pun yang telah kau miliki saat ini…”

Ya, aku berharap musim hujan di bulan november ini tidak serta merta mengurangi moment-moment rasa bersyukurku. Walau entah mengapa, di saat-saat lain: saat fajar menyingsing yang penuh dengan mentari hangat, ataupun pada saat malam kelam yang pekat dengan nyanyian hening, tidak ada yang bisa menggantikan saat-saat favoritku walau hanya 1 jam saja di antara 23 jam yang lainnya, yaitu saat-saat moment senja yang indah, saat jiwaku melayang bersamanya.

————————————————————————————–

CHIEF OF THE BLOG:

Pukul 17 sampai 18 sore adalah moment-moment favorit gw, di saat itu tidak ada satu hal pun yang ingin gw lakukan selain menikmati pemandangan langit sore, tidak ada hal yang lebih indah di dunia ini selain langit sore, tidak ada tempat curhat yang lebih baik selain langit sore, tidak ada teman yang lebih hangat selain langit sore. Syarat-syarat untuk menikmati moment:

1. Mandi dulu yang bersih.

2. Bikin secangkir coklat hangat.

3. Siapin kursi di luar rumah, di manapun asal bisa ngeliat langit.

4. Jangan ada 1 orang pun di sana.

5. Usahakan jauh dari jalanan atau suara bising kendaraan.

6. Luruskan kaki.

7. Lihat ke arah birunya langit.

8. Nikmati moment-nya!

🙂

Posted by: Deka | October 29, 2008

Bad Day: Not Too Bad (Mengurus SKCK Part 2)

Thanks God…

Kemaren sore pas gw sedang melepaskan penat di rmh, bete karena seharian bolak-balik ngurus SKCK tp ga ada hasil, tiba2 sepupu gw pulang dan bertanya: “Kenapa? Kok mukanya kayak bete gitu?”

“Iya nih, tadi ngurus SKCK ribet banget, panjang banget urusannya, mesti kesini, mesti kesitu, mesti ini, mesti itu, udahlah, males, mending ga usah buat…”

Sepupu: “Ngurus SKCK? Kenapa ga bilang? Gw punya temen yang bisa bikin SKCK langsung ga pake ribet!”

“Hah??? Maksudnya???”

Sepupu: “Iya, gw punya tmn, kakaknya kerja di bagian SKCK di Poltabes, loe tinggal kasih fotokopi KTP, pasfoto 3×4 2 lembar, ama duit 20rb. Selesai. Tunggu aja 1-2 hari, jadi.”

“Ya ampuuun…kok loe ga bilang2 sih…ngobrol donk…”

Sepupu: “Yeee…loe nya juga ga nanya…”

Singkat kata, singkat cerita.

Aku dan dia jatuh cinta. (Ooopsss…)

Hehehe… Maksudnya, gw dan sepupu gw langsung ke rumah tmennya, ngobrol2 ga nyampe 15 menit, selesai, gw serahin fotokopi KTP, pas foto 3×4 2 lembar, ama duit 20rb, udah. Gw tinggal nunggu kabar dari dia. Katanya sih besok malem udah bisa di ambil.

So, gimana?

Any comment???

Posted by: Deka | October 28, 2008

Bad Day: Mengurus SKCK

Today is a bad day!

Tadi pagi gw ke Poltabes Palembang dengan maksud untuk mengurus SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian, klo dulu Surat Keterangan Berkelakuan Baik, RED), untuk keperluan something, hehehe… Pagi2 jam 9 gw udah sampe di Poltabes. Bingung. Ga tau harus mulai dari mana: kanan? kiri? depan? or belakang? Untungnya gw punya feeling yang oke, gw ikutin aja kemana orang-orang paling banyak ngumpul (itu sih bukan feeling namanya! ehe…), dan bener aja ternyata orang-orang lagi pada ngurusin SKCK. Rame bgt. Udah ada kesan ribet. Akhirnya gw masuk di antara kerumunan orang dalam suatu ruangan. Banyak orang lagi duduk di kursi berjejer dengan rapinya, gw ga perlu lagi nanya apa yang sedang mereka tunggu, di muka mereka seolah-olah udah tercermin kata-kata: “ngapain lo liat-liat? gw udah bete sejam nunggu disini ga selesai2 urusannya!“, hehehe… Yah, mereka lagi nunggu SKCK mereka selesai. Gw bingung harus nanya ama siapa. Setiap orang tampak sibuk dengan urusannya masing-masing dan tampak tidak bisa diganggu. Akhirnya gw nanya langsung ama petugas di dalam loket yang wajahnya tampak paling ramah.

Pak, kalo mau ngurus SKCK gimana ya caranya?”

Bapak yang mukanya tampak ramah: “Oh, silahkan ambil blangko dulu di depan, kemudian dilengkapi. Tapi terlebih dahulu harus minta Surat Pengantar dari Polsek tempat Saudara tinggal“. syaratnya pakai fotokopi KTP sama pas foto 3×4 2 lembar”.

Oh, harus minta Surat Pengantar dari Polsek dulu ya Pak? Ummm…Ya sudah, makasih ya Pak”.

Oke, it’s not a big deal, tinggal dateng aja ke polsek deket rumah gw, lagian juga jaraknya ga begitu jauh dari Poltabes. Akhirnya tibalah gw di Polsek yang terdekat dengan rumah gw itu. Sepi. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan, padahal baru jam 11 siang, belum waktunya untuk makan siang. Yauda langsung aja gw bertanya ke bagian pelayanan, dan ternyata tempat untuk minta surat pengantarnya adalah di Loket Intel. Gw buka pintunya. Dan ternyata pertugasnya hanya 1 orang: ibu-ibu.

“Permisi, Bu. Saya mau minta surat pengantar untuk membuat SKCK di Poltabes…”

Ibu-ibu petugas: “Oh, iya, bisa. Tapi sebelumnya kamu harus minta Surat Pengantar dari Kelurahan kamu dulu. Nanti setelah dari kelurahan baru kamu ke sini lagi. Syaratnya fotokopi Kartu Keluarga, fotokopi KTP, ama pas foto 3×4 2 lembar”.

“Egh, jd harus ke kelurahan dulu ya Bu? Ummm…yauda deh, saya ke kelurahan dulu ya Bu. Permisi…”

Ya, ya, ya. Gw emang pernah denger dari orang kalo ternyata buat SKCK itu harus pake surat pengantar dulu dari kelurahan, TAPI gw cuma pengen iseng2 aja nyoba, MUNGKIN sudah ada KEMUDAHAN atau “JALUR LAIN”
agar kita bisa lebih mudah dan cepat dalam mengurus SKCK, tapi ternyata TIDAK.

Terpaksa gw harus pulang dulu ke rumah untuk makan siang dan mempersiapkan semua syarat2 yang diperlukan. Gw udah siapin fotokopi Kartu Keluarga, fotokopi KTP, ama pas foto, lengkap sesuai dengan yang disebutin oleh Bapak dan Ibu tadi. Akhirnya tepat jam 1 siang gw pergi ke kelurahan.

Sampai di kelurahan, tampak pegawai2 kelurahan sedang bercengkerama, seperti sedang tidak ada yang dikerjakan, tampak tidak ada tamu, semuanya pegawai. Ada seorang Bapak yang duduk paling dekat dengan pintu masuk, dan selebihnya adalah ibu-ibu yang duduk di meja kerjanya masing-masing. Akhirnya gw memutuskan untuk bertanya dengan Bapak yang paling dekat dengan pintu masuk itu.

“Permisi Pak. Selamat siang. Tadi saya ke Poltabes untuk mengurus SKCK. Kemudian saya diminta untuk membuat surat pengantar dari Polsek setempat. Setelah dari Polsek saya diminta untuk ke kelurahan untuk membuat surat pengantar juga (ribet…). Gimana ya, Pak?”

Bapak yang duduk paling dekat dengan pintu: “Surat Pengantar? Oh, iya…”

Tiba-tiba…

Seorang ibu yang duduk di sudut paling jauh (tampak memiliki jabatan di kelurahan) di ruangan itu nyeletuk: “Ada perlu apa?”

“Mau minta surat pengantar ke Polsek, Bu. Mau bikin SKCK di Poltabes”.

Ibu-ibu yang duduk di sudut paling jauh: “Oh, dari RT mana?”

“RT???”

Gw juga ga tau gw persisnya dari RT mana. Akhirnya gw buka dompet dan liat KTP.

“RT 21, Bu”.

Ibu-ibu yang duduk di sudut paling jauh: “Sudah punya Surat Pengantar dari RT?”

“Surat pengantar dari RT????!!!!!”

Kali ini nada gw agak gimanaaa gitu. Gw langsung down. Ilfil. Mood gw langsung lenyap saat itu juga.

“Surat pengantar dari RT gimana, Bu?”

Ibu-ibu yang duduk di sudut paling jauh: “Iya. Kamu harus minta dulu surat pengantar dari RT. Setelah itu baru kamu kesini lagi. Nanti kamu bawa fotokopi Kartu Keluarga, fotokopi KTP, pasfoto 3×4 2 lembar, sama Surat Tanda Lunas PBB“.

“Surat Tanda Lunas PBB???????????”

Ya ampuuuun. Apa lagi sih pikir gw. Kenapa juga harus pake surat tanda lunas PBB, apa hubungannya coba. Gw di sini tinggal numpang ama sodara gw, tentunya gw ga ngerti apa2 soal PBB. Lagian juga kalo siang sodara-sodara gw pada pergi semua, kemana gw harus nanya soal surat tanda lunas PBB itu. Lagian juga seinget gw, sodara gw pernah bilang kalo Pak RT di kampung gw itu kerja di BUMN, dan tau sendiri lah kalo kerja di BUMN, pasti pulangnya sore, atau bahkan malam, ya toh? God, gw langsung lemes, langsung males ngelanjutin buat ngurus kayak beginian.

Ibu-ibu yang duduk di sudut paling jauh: “Iya, surat tanda lunas PBB. Kalo belum punya atau belum lunas ya gampang lah. Nanti kamu bisa ngelunasin PBBnya di sini, tinggal bayar di loket sebelah.”

“Bayar PBB???”

Ya, kali ini berubah jadi bayar PBB. Sip, sempurna lah sudah keinginan gw buat mengakhiri semua ini. Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Akhirnya gw memutuskan untuk menyudahi urusan ini.

“Ya sdh, Bu. Saya permisi dulu. Terima kasih.”

Sampai di rmh. Keringetan. Capek: lahir, batin. Berpikir: gw memaklumi bahwa ini semua memang prosedur, ya, PROSEDUR! Tapi apakah tidak ada prosedur yang lebih simpel. Kenapa begitu banyak surat pengantar yang harus gw urus untuk sebuah SKCK, keperluannya apa? Kalau untuk konfirmasi bahwa kita memang benar warga yang berkelakuan baik, apa ga cukup 1 surat pengantar saja? Dari RT saja misalnya? Atau cukup dari kelurahan saja? Kalau alasannya biar lebih valid, sekalian aja dari RT minta lagi surat pengantar dari Kepala Keluarga atau dari teman terdekat, daripada nanggung. Gw juga mikir gimana tmn2 gw yang cuma anak kost, yang selalu pindah2, KTP pun ga punya, apalagi PBB.

Entahlah. Mungkin ini cuma uneg2 gw aja karena gw udah capek bolak-balik ga ada hasil. Gw bisa memaklumi sebenarnya, karena gw kerja di Rumah Sakit, gw tau bahwa mengurus surat Askin untuk warga yang kurang mampu lebih ribet lagi dari sekedar mengurus SKCK. Ya, mau-ga-mau memang harus diikutin prosedurnya. Tp mood gw udah terlanjur ngerusak segalanya.

Gw berpikir: kalo gw lanjutin…

  • Gw harus ke rmh Pak RT malem2, iya kalo dia udah pulang, kalo blm?
  • Trus surat PBB gw gimana? Siapa yang nyimpennya di rmh? Apa udah lunas? Kalo blm lunas, gimana?
  • Besok ke kelurahan, pasti gw keluar duit buat bikin surat pengantarnya.
  • Sampe di polsek pun pasti keluar duit juga.
  • Ke poltabes pasti besok sore, dan kalo sore ga mungkin langsung selesai saat itu juga, pasti selesainya besoknya lagi. Dan pastinya juga keluar duit lagi buat di poltabes.

Tok, tok, tok! (bunyi hakim mengetuk palu): SELESAI! Gw memutuskan untuk SELESAI!

“Kasihku…sampai di sini…kisah kita…jangan tangisi…keadaannya…” (loh kok???)

Yah, selesailah sudah, gw memutuskan untuk tidak melanjutkan mengurus SKCK lagi.

Namun, ternyata, ceritanya berlanjut, surprise!!! hehehe…

Berhubung gw udah capek ngetik, ceritanya gw lanjutin lagi di posting yang berikutnya.

Salam.

CHIEF OF THE BLOG: Semua bentuk ucapan dan kata-kata dalam posting ini TIDAK DIMAKSUDKAN untuk menjatuhkan atau menjelekkan suatu instansi atau individu. Semua hanya suatu bentuk perasaan pribadi yang cukup ditanggapi dengan perasaan juga. Terima kasih.

Posted by: Deka | October 27, 2008

Setelah Dokter, Mau Kemana?

Banyak hal yang pengen gw posting ke dalam blog ini.

Yang ada dalam otak gw adalah tentang masa-masa kuliah, dosen-dosen killer, bagaimana menghadapi ujian kompetensi, tentang STR, tentang PPDS, tentang PTT, dan sebagainya.

Entah dari mana gw harus mulai? Namun karena ini masih termasuk posting2 awal, jadi gw pengen ngebahas yang sifatnya first step dulu, gw pengen berbagi tentang apa yang akan loe lakukan setelah loe lulus jadi dokter?

Setelah “dokter”, mau kemana???

Nggak sedikit mahasiswa-mahasiswa kedokteran yang masih bingung mau menjawab apa dengan pertanyaan ini. Bahkan para koas, yang notabene tinggal beberapa bulan lagi lulus menjadi dokter, pun masih bingung mau kemana mereka nanti setelah lulus jadi dokter. Hal itu terjadi pada diri saya dan teman-teman semasa kuliah dulu, hanya segelintir teman yang dengan yakinnya mengatakan, “gw mo langsung ambil spesialis aja”, atau “gw mo PNS donk, gw ada channel soalnya”, atau “gw mo bikin klinik gede, loe nebeng gw aja ntar”, wuih…pada muluk-muluk semuanya, yang pada akhirnya, semua keinginan itu ga terwujud dan berubah menjadi sesuatu yang ga penah terpikirkan sebelumnya.

Sebenarnya banyak pilihan setelah kita lulus jadi dokter nanti, justru karena banyaknya pilihan itulah makanya kita bingung mau pilih yang mana, kalo temen-temen gw bilang, “udahlah ga usah bingung-bingung, go with the flow aja…”. akhirnya memang “go with the flow”: terkatung-katung ga ada arah tujuan. Atau karena banyaknya pilihan, kita terpaksa harus memilih salah satu untuk sementara, sekedar ada pilihan kalo ditanya orang, atau memang benar-benar akan diminati pada akhirnya.

Well, semua bahasan di atas bukanlah suatu solusi, karena dalam hal ini, memang tidak ada solusinya, coz:

LIFE IS ABOUT CHOICES!!!

Hidup ini adalah pilihan, dan hidup ini seperti berjudi.

Loe dituntut untuk memilih sesuatu, dan loe ga akan pernah tau apa yang akan terjadi pada pilihan loe, sampai hal itu benar-benar terjadi pada akhirnya nanti, ya toh?

So, kalo loe memilih sesuatu dalam hidup loe, jangan pernah men-judge bahwa pilihan loe itu sudah benar, dan pilihan orang lain itu salah, cukup jalanin aja, nikmatin, bersyukur, dan cari pilihan lain jika memang ada yang lebih baik, simple kan?

Hehehe… (kok kayaknya ribet yah???)

Oke, kembali ke laptop!

Berikut adalah pilihan-pilihan yang berhasil gw survei dari teman-teman semasa kuliah dulu:

“Setelah dokter, mau kemana?”

1. Langsung ambil spesialis (60%)

Lebih dari setengah teman-teman kuliah dulu kalo ditanya mau kemana setelah lulus dokter, langsung menjawab untuk langsung sekolah lagi. Pilihan ini adalah yang paling favorit, mengingat hare gene masih dokter umum adalah hal yang udah ga zaman lagi, padahal hal itu ga benar, kalo mau buka mata dan telinga, banyak kok dokter umum yang pemasukannya ngelebihin dokter spesialis, asal dia tau caranya, nanti kita bahas lagi di posting berikutnya. Spesialis identik dengan ladang udang, ladang uang adalah suatu materi, dan materi adalah sesuatu yang selalu dikejar orang. Namun buat gw, spesialis adalah suatu kebanggaan dan sarana untuk menggeluti ilmu yang lebih gw minati, dalam hal ini adalah penyakit dalam, hehehe… (amin!). Tapi ga semudah itu juga buat loe untuk bisa ambil spesialis. Yang pertama harus loe punya adalah UANG. Dan untuk sekolah spesialis dari awal ampe akhir, loe harus siapin uang paling nggak 200 juta, dengan perhitungan masa sekolah loe adalah 4 tahun, dengan alokasi kasar tiap tahun adalah 50 juta, dan alokasi kasar tiap bulan adalah 4 juta, terkesan cukup kan? Tapi loe harus inget jg tentang uang masuk, uang pembangunan, uang SPP, uang fotocopy, uang buku, uang makan, uang kontrak rumah, uang ongkos, bla…bla…bla… Dengan kata lain, untuk amannya, loe harus punya pemasukan dulu, alias gaji bulanan, alias loe harus kerja dulu, kecuali loe punya ortu yang hartanya ga abis 7 keturunan baru loe bisa langsung masuk spesialis. Kalo loe ga punya itu, mending loe pikirin dulu tentang pilihan lain di bawah ini.

2. Cari kerja dulu (30%)

Kasarnya, kurang lebih sepertiga dari teman-teman kuliah gw dulu adalah orang-orang yang sederhana, kalo ga mau dibilang kurang mampu, termasuk gw, hehehe… Pada dasarnya, gw dulu berpikiran untuk bisa sekolah lagi tanpa harus membebankan orang tua lagi, gw pengen sekolah dengan biaya gw sendiri. Di sinilah tempatnya pilihan itu. Sebenernya ujung-ujungnya adalah sekolah lagi, tapi loe harus ngumpulin uang dulu alias nabung biar bisa sekolah lagi, di sini masalahnya cuma waktu, not a big deal guys. Kalo menurut gw pilihan ini lebih bijak, biar kata orangtua kita punya harta yang ga abis 7 turunan, but deep down inside here (sambil menunjuk ke dalam dada), kita udah cukup ngebebanin orangtua kita selama kuliah di kedokteran, lagian juga, umur segini gitu loh, di luar negeri sono udah ga pantes lagi minta-minta ma ortu kalo udah umur segini, ya kan bro?

Nah, di pilihan ini tersedia berbagai alternatif buat loe: yang paling banyak dilakukan dokter-dokter yang baru lulus adalah ngisi klinik 24 jam, karena rata-rata (OFF THE RECORD) buat jaga klinik 24 jam ga perlu pake STR, namun pemasukannya jg ga banyak, kalopun banyak, sesuai jg ama capeknya, hehehe…ngaku loe?! Pilihan lainnya adalah PTT, dengan PTT loe bisa dapet gajian bulanan, walopun ga seberapa, makanya kalo PTT jangan nanggung-nanggung, pilih yang sangat terpencil sekalian, biar dapet insentif. Ato pilih PTT jalur daerah kayak gw, biar gajinya di atas rata-rata, hehehe…

Selain PTT, loe bisa pilih jd PNS, dengan PNS loe bisa ngajuin beasiswa buat sekolah lagi. Kalo pengen gaji gede, loe bisa kontrak di RS-RS gede atau swasta. Kalo ga pengen terikat, loe bisa buka warung alias praktek kalo udah punya STR.

Kalo loe mau beasiswa langsung, ambil beasiswa dari TNI atau POLRI, sering-sering denger pengumuman di kampus loe, atau sering-sering buka intenet.

Nah, kalo loe males kerja atau ga mood dengan semua yang udah gw jabarin di atas, loe bisa ngikutin jejak teman-teman gw di bawah ini.

3. Lain-lain (10%)

Di sini adalah pilihan buat loe-loe yang pada males kerja atau males buat sekolah lagi setelah lulus jadi dokter nanti.

Salah satunya adalah “pengen istirahat dulu”. Ada beberapa teman yang menjawab pengen istirahat dulu setelah lulus jadi dokter, ga mau ngapa-ngapain dulu, pure istirahat. Mungkin ini adalah suatu bentuk “balas dendam” terhadap semua beban yang pernah didapat selama kuliah di kedokteran. Betapa besarnya beban kuliah di kedokteran sehingga harus dibutuhkan waktu untuk hibernasi setelah lulus. Well, bisa dimaklumi, masuk akal juga sebenarnya, asal ga “pengen istirahat selamanya” aja, hehehe…

Yang lainnya adalah “pengen kawin dulu”. Yang ini sebenernya adalah keinginan untuk setiap orang. Sekilas tampak wajar dan murni apa adanya. Namun setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata ada maksud tersembunyi dari semua itu, hehehe… Hampir semua maksud yang tersembunyi itu disampaikan oleh teman-teman cewek gw: “gw pengen kawin dulu, cari suami yang kaya, biar bisa nyekolahin gw ambil spesialis, hehehe…”. Fiuh, enaknya jadi wanita. Nah, buat elo-elo yang cowok, mau jadi wanita juga???

Pilihan lainnya adalah “ga tau”, atau “ummmm…apa ya?”, atau “nyantai aja lagi, masih lama”, atau “tau ah”, atau “terserah ama yang Di Atas”, hehehe…

So, semuanya kembali pada loe, loe yang pilih, loe yang jalanin…

Wish you a VERY GOOD LUCK!

CHIEF OF THE BLOG: Saya berharap saya bisa berbagi tentang pilihan untuk menjadi dokter PTT lebih detail lagi. Karena pilihan untuk PTT terlebih dahulu adalah pilihan saya sebelum saya bisa sekolah lagi. Doakan saya bisa sekolah lagi untuk menjadi seorang internist. Selanjutnya akan saya posting tentang Pilihan Menjadi Dokter PTT berdasarkan pengalaman saya dan pengalaman sejawat-sejawat lain. Semoga bermanfaat.

Posted by: Deka | October 27, 2008

Introdokter: EYD (Ejaan Yang Dicampur2)!

Ejaan dalam blog ini menggunakan EYD (Ejaan Yang Dicampur2) Versi 1.2.1.

Dalam blog ini sebagian menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, namun sebagian lagi menggunakan bahasa prokem yang semau-mau gue.

Dalam blog ini, “CHIEF OF THE BLOG” dapat menggunakan kata “saya”, “aku”, “gue”, “i”, “aq”, “eikeh”, atau apapun tergantung mood pada saat itu.

Bahasa Indonesia dan English adalah deafult dalam blog ini, namun sewaktu-waktu dapat muncul Bahasa Planet lain atau Bahasa Binatang entah dari mana asalnya, tergantung mood juga.

Berbagai singkatan dapat ditemukan dalam blog ini, terserah pembaca ingin mengartikan “brt” sebagai “berat”, “barat”, atau “bu*it”.

Tanda “*” dalam blog ini digunakan untuk mengatakan sesuatu yang TIDAK PANTAS dikatakan, namun HARUS dikatakan, seperti “f*ck you!”, semua kembali lagi kepada mood.

Blog ini menerima masukan berupa saran dan kritik dalam hal apapun selama itu tidak menyangkut pencemaran nama baik dan hal-hal lain yang sejenisnya.

Pada akhirnya, blog ini dibuat dengan niat yang tulus dari hati yang terdalam untuk dapat berbagi dengan sesama.

Salam.

Posted by: Deka | October 27, 2008

Ranting, Api, Asap dan Dunia…

Daripada bingung mo posting apaan, mending bikin filsafat (filosofi atau motto atau apalah namanya) :

“Sebatang RANTING yang ingin mengangkasa, harus rela dibakar API, hingga menjadi ASAP, agar dapat terbang melihat DUNIA…”

Saya mengibaratkan hidup saya dengan filsafat itu, filsafat ini saya bikin sendiri, original, tidak mencontek dari siapa pun.

“Sebatang RANTING yang ingin mengangkasa… :

Saya mengibaratkan diri saya sebagai sebuah ranting, sesuatu yang rapuh, kecil, mudah patah, goyah, dan tidak terlihat karena tertutupi oleh ribuan ranting yang lain dalam suatu pohon.  Ini mengartikan bahwa saya hanyalah manusia biasa yang tiada artinya. Namun saya memiliki ambisi untuk bisa terbang, melihat dunia, atau bahkan dapat dilihat oleh dunia.

…harus rela dibakar API… :

Api disini adalah suatu pengorbanan. Untuk mencapai sesuatu pastinya dibutuhkan pengorbanan. Sebuah ranting yang ingin terbang agar dapat melihat dunia hanyalah dicap mimpi oleh sebagian orang, sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Namun saya percaya, dengan semangat dan keinginan yang membara seperti api, dan walau dengan pengorbanan yang sakitnya seperti terbakar api, mimpi itu dapat terwujud.

…hingga menjadi ASAP… :

Setelah terbakar api, sang ranting dapat berubah menjadi asap, menjadi sesuatu yang lain, ia tidak hilang, namun ia seperti tak terlihat, itulah tujuan akhirnya, menjadi sesuatu agar dapat…

…terbang melihat DUNIA.”

Posted by: Deka | October 27, 2008

Introdokter

Ini adalah posting pertamaku.

Terinspirasi dari keinginan untuk berbagi dengan sesama.

Aku adalah seorang dokter, sejak kecil memang sudah bercita-cita untuk menjadi dokter. Kemampuan akademisku semasa sekolah tidaklah membanggakan, hanya biasa-biasa saja. Hanya beberapa prestasi kecil yang bisa kuraih. Namun keinginanku untuk menjadi dokter tidak pernah pupus, tidak pernah berubah, tidak ada cita-cita lain yang ada dalam pikiranku.

Dan akhirnya, cita-cita itu tercapai, alhamdulillah.

Enam tahun adalah waktu yang harus aku tempuh untuk bisa menjadi seorang dokter, dan itu bukanlah waktu yang singkat. Selama enam tahun, perubahan fisik, mental dan spiritual terjadi pada diriku. Dan setelah enam tahun itulah cerita ini dimulai, cerita tentang seorang dokter yang sedang mencari jati dirinya, mencari cintanya, dan mencari arah perjalanan hidupnya.

Pada akhirnya, inilah blog tentang seorang “dokter dan dunianya”.

Categories